Senin, 10 Mei 2010

ALANGKAH LUCUNYA (NEGRI INI)


Sudahkah Anda menonton film ini?
Bila belum, apakah Anda merasa penasaran dengan pernyataan di atas? Apa yang lucu di negeri ini?

Saya SANGAT menyarankan Anda untuk segera menontonnya, sebelum film ini tutup tayang di bioskop. Bukannya saya hendak berpromosi karena pemain utama film itu adalah teman saya sendiri, yaitu Ratu Tika Bravani, mahasiswi FEUI angkatan 2009, melainkan saya baru menemukan satu film lagi karya anak negeri yang sangat SESUAI dengan situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia. Tentunya setelah film-film luar biasa lain yang pernah saya tonton seperti Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan King.

Uniknya, film ini disutradarai oleh Deddy Mizwar, pemain film yang sudah tidak diragukan lagi kapabilitasnya.

Seperti judulnya “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”, jujur, saya sangat tertohok menyaksikan “kelucuan-kelucuan” yang tanpa saya sadari menjadi sebuah fenomena di negeri kita. Mungkin ini menjadi persoalan yang seringkali terbengkalai.

Pertama, mengenai apa pentingnya pendidikan? Dalam film ini diceritakan bahwa Muluk (Reza Rahardian), seorang sarjana manajemen belum juga mendapat pekerjaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa di negri ini masih banyak lulusan sarjana yang sulit mencari pekerjaan. Betul tidak? Ada satu scene yang mengesankan saya, yaitu ketika Syamsul (Asrul Dahlan) sedang menumpahkan keluh kesahnya kepada Muluk.

Syamsul: Gimana gue bisa jelasin ke anak-anak (pencopet) kalo pendidikan itu penting? Bahkan gue sendiri yang sarjana pendidikan nggak yakin kalo pendidikan itu penting.

Muluk: Kok lo bisa berpendapat kayak gitu?

Samsul: Ya iyalah, dulu bapak emak gue bilang sekolah itu penting, makanya gue sekolah dari SD sampe kuliah. Nah baru kelar kuliah gue ngerasa pendidikan itu ternyata ga penting! Cuma ngabisin waktu dan biaya saja.

Muluk: Ya justru karna lu sekolah lo bisa bilang pendidikan itu penting. Kalo nggak sekolah, lu ngga bakal ngerti!

Ironis.

Jadi, yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah pendidikan itu penting? Apa gelar sarjana itu penting? Saya rasa pertanyaan itu kembali pada diri saya dan Anda yang sedang mengenyam pendidikan tersebut. Apa tujuan dan cita-cita Anda? Apakah pendidikan, dalam hal ini sekolah sampai kuliah, akan mendukung tercapainya cita-cita Anda? Bila jawabannya Ya, silahkan bersekolah. Jika Tidak, tinggalkan semua itu dan kejarlah cita-cita itu. Mudah bukan?

Hal kedua yang juga sangat menohok ditujukan kepada para pejabat di negeri ini. Memang, film ini hanya menceritakan sekumpulan anak-anak pencopet yang menjadikan copet sebagai profesinya sehari-hari. Ada adegan lagi mengenai Syamsul, yang notabene sarjana pendidikan, mencoba mengajari mereka bahwa (sekali lagi) pendidikan itu penting. Bayangkan bagaimana caranya menyampaikan makna pendidikan kepada para pencopet cilik yang hanya tau soal copet mencopet? Yang tidak pernah sekolah dan bahkan tidak tahu cara memegang pensil?

Maka hanya perumpamaan ini yang bisa diutarakan Syamsul.

Syamsul: Anak-anak, pendidikan itu penting karena.. karena bisa membangun martabat bangsa. (penuh kebingungan)

Anak-anak pencopet: (krik krik)

Muluk: Pakai kata-kata yang mudah mereka mengerti, Sul..

Syamsul: Oke, begini saja. Anak-anak, pendidikan itu penting. Misalnya kalian sebagai pencopet. Kalian hanya mendapatkan uang sedikit setiap harinya, coba kalau kalian sekolah, kalian bisa mendapat uang yang banyak. Seperti KORUPTOR di negara ini. Mereka kaya karena mereka berpendidikan.

Anak-anak pencopet: Saya mau sekolah, saya mau jadi koruptor! HIDUP KORUPTOR!!

Oh. Salah maksud, salah tangkap. Tetapi sungguh adegan ini dan banyak adegan lainnya menohok para koruptor atau “tikus-tikus rakyat” di negeri ini.

Adegan terakhir bercerita bahwa akhirnya Muluk berhasil mengubah sebagian anak pencopet menjadi pedagang asongan. Beralih dari pekerjaan mereka yang haram menjadi halal. Tetapi, malang oh malang, mereka yang sedang mengasong pun dirazia oleh polisi. Apa salahnya mengasong? Mereka toh melakukan suatu usaha, bukan hanya menjadi sampah jalanan? Mencopet salah, mengasong pun "disalahkan". Sebenarnya siapa yang benar? Siapa yang salah?

Hahaha alangkah lucunya..

P.S. Sama seperti Ibu Avanti Fontana merekomendasikan film ini kepada murid-muridnya, saya pun ingin merekomendasikan film ini kepada Anda semua.

Change our country is started by us as the next generation. God bless Indonesia. :)

Sabtu, 17 April 2010

Tragedi Poni

Whoaahh

Dah lama banget nih gue ga ngeblog. Kangen deh.

Guys, gue punya cerita menyebalkan nih tentang PONI. Emang udah lama gue berencana potong poni. Gue udah bosen gila ama poni samping. Jadi gue berpikir buat potong poni gue jadi rata.

FYI, gue sekarang ngekos di daerah Depok. Apaapa ngurus sendiri mulai dari urusan kuliah, makan, belanja, nyuci, nyapu, semua gue kerjain sendiri. Dulu, setiap kali mau potong rambut, gue selalu pergi bareng nyokap ke salon dekat rumah gue. Nah sekarang disini, gue mau potong rambut kemana nih? Gue sempet berpikir mau ke Detos aja lah. Tapi karena jauh dan mungkin lebih mahal, gue urungkan niat itu. Lalu ide muncul, triiing! (ada bunyinya hehe) kenapa gue ga motong deket tempat kos gue aja? Tapi sebelomnya gue belom pernah sih. Tapi yaudalah cari aja, gaada salahnya juga kan dicoba motong di daerah sini.

Oke, mulailah pencarian gue dengan sepeda milik kakak kos gue(biasalah antar anak kos sering pinjempinjeman). Setelah nyarinyari, akhirnya ketemulah satu salon di daerah ini. Lega banget gue. OLVY SALON (ups, maaf nyebut merek). Gue milih ntu salon soalnya selain deket, namanya mirip nama gue. Alvi = Olvy. Ga penting HAHA. Next gue buka pintu salonnya. Hari itu hari Minggu siang, jadi jelas aja sedikit orang yang dateng (cuma 1 kalo ga salah). Gue liat karyawan disitu ada 3, cewek semua. Satu lagi ngelayanin pelanggan, yang lain lehaleha. Langsung aja gue tanya ke salah satu mbak yang lagi nyantai itu.

Gue: Mbak, disini potong poni berapa ya?

Mbak 1: Oh 10000 aja kok mbak. (Gile mahal bangettt)

Gue: Hah? Koq mahal sih mbak? Di Jakarta aja saya biasa motong cuma goceng, mbak.

Mbak 1: di Jakarta ama Depok beda, mbak.

Helooo apa bedanya? Samasama potong poni. Terus bukannya ini di daerah ya makanya bisa lebih murah, secara di Jakarta apaapa mahal gitu. Tapi, gue sempet mikir juga, apa karna mbak ini ngeliat gue orang Jakarta kali ya makanya dimahalin? Licik juga tuh orang L

Gue: Yah, 5000 aja deh mbak. Ya ya ya? (gue masih berkelit)

Mbak 1: Yaudah tengahtengahnya aja deh, 7000 mau ngga? (tawar si mbak ‘bijaksana’)

Gue: Hmm yaudah deh. (dengan berat hati)

Setelah adegan tawarmenawar tersebut, gue pun duduk di salah satu bangku di salon itu. Lalu, mbak yang satu lagi yang tadi juga berlehaleha (bukan si mbak licik) datengin gue. Mbak itu udah ibuibu dan berambut pendek.

Mbak 2: Mau poni apa mbak?

Gue: Hmm rata aja yah.

Dan dia pun mulai bekerja. Setelah selesai, gue melongo ke kaca dan gue ngeliat kalo poni gue jauh dari yang gue harapkan! Poni gue agak miring gitu. ASIMETRIS. Ga banget deh pokoknya. Gue pun protes.

Gue: Mbak, ini kayaknya poninya masih kurang rata deh.

Mbak 2: Ah masa sih mbak? Itu udah rata kok. Noh. (sambil megangmegang poni gue)

Gue: Ngga mbak, ini masih belom rata. Tuh liat, yang sebelah kiri masih lebih panjang dari yang sebelah kanan. (buta kali yah tuh orang?)

Mbak 2: Oh, coba nanti pulang mbak ngeroll rambutnya, pasti ntar jadi rata.

Gue tuh YAKIN BANGET kalo poni gue masih miring. Tapi yaudalah, gue nurutin mbak itu aja, ntar gue roll lagi di kosan. Terus gue bayar 7000 rupiah dan pulang.

Malemnya, gue roll tuh poni dengan harapan akan rata seperti yang mbak itu bilang. Esok paginya, gue kuliah. Di kampus, gue bertemu teman gue. Sebut saja J.

J: Vi, kok ada yang beda sih di rambut lo?

Gue: Iya dong, kan baru motong poni.

J: Tapi kok aneh ya bentuknya?

Gue: Hah, aneh gimana?? (shock)

J: Iya, kayak gak rata gitu.

Shit, bener kan penglihatan gue kemaren. NI PONI MASIH GA RATA. Yaampun, malu banget gue. Ke kampus dengan poni ½ jadi. Ckckck.

Sepulang dari kuliah, gue pun berencana untuk minta pertanggungjawaban dari Olvy Salon. Udah gue bayar mahal, ga bagus lagi hasilnya.

Dengan naik sepeda (lagi), gue pun melesat ke Olvy Salon. Mbakmbak yang ada disana sempet kaget dan agak sebel juga harus ngeliat tampang gue lagi. Secara kemaren gue udah nyusahin mereka dengan protes kalo poni gue gak bener. Tapi salah mereka juga dong.

Gue: Mbak, saya yang kemaren dateng. Tadi malem, saya udah ngeroll poni saya tapi ga mau bener juga. Jadi sekarang saya mau poni saya dibenerin.

Mbak: Boleh, asal nanti bayar lagi.

Gue: (Agak sebel) Yaudah terserah mbaklah, tapi jangan mahalmahal.

Kali ini yang ngerjain poni gue bukan ibuibu rambut pendek kayak kemaren, tapi ibuibu satu lagi yang tampangnya baik. Gue pikir mungkin aja kalo sama dia harganya gak bakal dimahalin.

Setelah ibuibu baik itu motong poni gue, hasilnya: GOOD! Sesuai dengan keinginan gue. Gaada lagi bentuk asimetris nan aneh kayak kemaren. Rasanya legaaa banget.

Gue: Nah, udah oke nih. Berapa bayarnya?

Mbak 3 (ibu tampang baek): 5000 aja mbak.

Buseeeeet dah, sama aja ternyata! Muka beda harga tetep mahal. Jadi kalo mau itungitung total gue motong poni adalah 7000 + 5000 = 12000 rupiah. Gue balik dengan perasaan bercampuraduk. Antara marah, kesel, nyesel, tapi ada senengnya juga karna poni gue udah bener. Ini semua DEMI PONI KESAYANGANKU. J

Sejak itu, gue GA MAU LAGI potong di OLVY SALON dan mungkin semua salon di daerah kos gue. Salon boleh kecil, tapi harganya bo, ga nahaaann.